Lanjut ke konten

MENERIMA SEMUA YANG DATANG DARI WAHYU, DENGAN TETAP MENJUNJUNG TINGGI PERAN AKAL

14 Mei 2009

MENERIMA SEMUA YANG DATANG DARI WAHYU, DENGAN TETAP MENJUNJUNG TINGGI PERAN AKAL[1]

Menerima artinya menyerah dan tunduk kepada kedua wahyu (Al-Qur’an dan As-Sunnah) dalam masalah akidah dan hukum. Allah I berfirman:

فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّىَ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُواْ فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجاً مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُواْ تَسْلِيماً

"Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya". (Q.S. An-Nisa’: 65)

Dan perintah Allah I kepada nabi-Nya:

3قُلْ أَغَيْرَ اللّهِ أَتَّخِذُ وَلِيّاً فَاطِرِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَهُوَ يُطْعِمُ وَلاَ يُطْعَمُ قُلْ إِنِّيَ أُمِرْتُ أَنْ أَكُونَ أَوَّلَ مَنْ أَسْلَمَ وَلاَ تَكُونَنَّ مِنَ الْمُشْرِكَينَ

‘Katakanlah: "Sesungguhnya Aku diperintah supaya Aku menjadi orang yang pertama kali menyerah diri (kepada Allah), dan jangan sekali-kali kamu masuk golongan orang musyrik". (Q. S. Al-An’aam: 14)

Juga tentang penyerahan Nabi Ibrahim dan Ismail:

فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ

"Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya )". (Q.S. Ash-Shaaffaat: 103)

Wajib bagi setiap Muslim menerima Rasulullah r dengan sepenuhnya, taat kepada perintahnya dan menerima serta membenarkan segala berita yang disampaikannya, tanpa menentangnya dengan khayalan sia-sia yang dinamai rasional, atau meramunya dengan kepalsuan dan keraguan, atau lebih mendahulukan pendapat dan hasil pikir orang-orang yang tidak dijamin kebenarannya.

Dengan demikian kita mentauhidkan Rasulullah r dengan menjadikannya hakim dalam segala permasalahan, meneima segala yang disampaikannya, taat dan tunduk kepada segala perintahnya, sebagaimana mentauhidkan Allah Yang mengutusnya dengan beribadah hanya kepada-Nya, merendahkan dan menghinakan diri di hadapan-Nya, dan kembali serta berserah diri kepada-Nya. Inilah dua tauhid yang akan menyelamatkan seorang hamba dari azab Allah I, yang biasa disebut: Tauhiidual-Mursil wa Tauhiid Mutaaba’atir–Rasuul.

Pondasi penghambaan diri dan keimanan kepada Allah I, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya adalah penerimaan mutlak dan tidak mempertanyakan rincian hikmah di balik segala perintah, larangan dan syari’at. Allah I tidak pernah menceritakan satu umatpun yang beriman kepada nabinya dan risalah yang dibawanya bertanya tentang rincian hikmah yang terkandung dalam perintah, larangan dan berita yang disampaikannya dari Allah I -Kalau ada yang melakukannya, pastilah dianggap belum beriman-. Sebagian hikmah mereka ketahui, tapi yang mereka tidak ketahui tidak menjadi penghalang untuk melaksanakannya, atau menunggu sampai diketahui hikmahnya. Yang demikian itu bukanlah kebiasaan mereka. Bagi mereka, yang lebih penting adalah perintah nabi mereka, bukan bertanya tentang hikmah-hikmah itu. Dalam Injil dinyatakan: "Wahai Bani Israil! Janganlah kalian berkata: "Mengapa Tuhan menyuruh kita?" tapi katakanlah: "Menyuruh apa Tuhan kita?".

Hal mana terjadi pada generasi terdahulu umat Muhammad r –yang paling sempurna akal dan ilmunya-, mereka:tidak pernah bertanya kepada nabi "Mengapa Allah menyuruh ini?", "Mengapa Allah melarang ini?", "Mengapa Allah menentukan seperti ini?" dan "Mengapa Allah melakukan ini?". Karena mereka tahu bahwa yang demikian itu bertentangan dengan Iman dan Islam, sebagaimana mereka tahu bahwa pondasi Islam tidak akan kokoh bila tidak dibangun di atas penerimaan mutlak.

Penerimaan terhadap sebuah perintah adalah melalui beberapa fase berikut: Pertama, membenarkan. Kedua, bertekad yang kuat untuk melaksanakannya. Ketiga, segera melaksanakannya dan mewaspadai hal-hal yang akan memutus atau menghalanginya.

Akan tetapi, penerimaan mutlak terhadap wahyu tidak berarti mematikan potensi akal. Salaf tetap menjunjung tinggi akal dan menempatkannya pada tempat terhprmat. Mereka mengatakan: "Sesungguhnya wahyu yang benar tidak bertentangan dengan akal sehat." Walaupun sebenarnya akal tidak bisa mencapai kebenaran dengan sendirinya, dia harus selalu mengikuti syar’iat. Karena seandainya akal bisa mencapai kebenaran dengan sendirinya, maka Allah tidak perlu lagi mengutus rasul-rasul-Nya dan menurunkan kitab-kitab-Nya.

Inilah sikap Salaf: Bila syari’at bertentangan dengan akal, yang wajib didahulukan adalah syari’at, karena akal membenarkan semua yang ada dalam syari’at, tapi syari’at tidak membenarkan semua yang ada pada akal.

Dari sini diketahui bahwa tidak mungkin keyakinan terhadap semua yang dibawa oleh Rasul digantungkan kepada syarat, atau kepada ketiadaan penghalang. seperti orang yang berkata: "Saya tidak akan mempercayai berita yang sampai kepadaku, sampai akalku menerima" Perkataan seperti ini adalah pengingkaran yang nyata, seperti yang Allah I nyatakan dalam firman-Nya:

وَإِذَا جَاءتْهُمْ آيَةٌ قَالُواْ لَن نُّؤْمِنَ حَتَّى نُؤْتَى مِثْلَ مَا أُوتِيَ رُسُلُ اللّهِ اللّهُ أَعْلَمُ حَيْثُ يَجْعَلُ رِسَالَتَهُ سَيُصِيبُ الَّذِينَ أَجْرَمُواْ صَغَارٌ عِندَ اللّهِ وَعَذَابٌ شَدِيدٌ بِمَا كَانُواْ يَمْكُرُونَ

"Apabila datang sesuatu ayat kepada mereka, mereka berkata: "Kami tidak akan beriman sehingga diberikan kepada kami yang serupa dengan apa yang telah diberikan kepada utusan-utusan Allah". Allah lebih mengetahui di mana dia menempatkan tugas kerasulan. orang-orang yang berdosa, nanti akan ditimpa kehinaan di sisi Allah dan siksa yang keras disebabkan mereka selalu membuat tipu daya".(Q.S. Al-An’aam: 124)

Dan mereka kelak pasti menyesal, sebagaimana Allah I ceritakan dalam firman-Nya:

وَقَالُوا لَوْ كُنَّا نَسْمَعُ أَوْ نَعْقِلُ مَا كُنَّا فِي أَصْحَابِ السَّعِيرِ

"Dan mereka berkata: "Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala". (Q.S. Al-Mulk: 10)

Selanjutnya, bila kita ingin menjadikan akal sebagai sumber yang harus diikuti, akal siapa yang akan kita jadikan standard, atau dijadikan model?

Orang-orang yang berpegang kepada kebenaran tidak mencela dalil-dalil akal dan kebenaran yang bisa dicapainya. Akan tetapi mereka mencela pernyataan bahwa akal bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Di antara pertentangan itu adalah ketika akal membicarakan hal-hal yang gaib, seperti sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan Allah I, seperti bersemayamnya Allah I di atas ‘arsy dan turunnya Dia ke langit dunia. Padahal iman kepada hal-hal yang gaib adalah predikat pertama orang-orang yang bertakwa, sebagaimana firman-Nya:

ذَلِكَ الْكِتَابُ لاَ رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِّلْمُتَّقِينَ (2) الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ (3)

"Kitab (Al Quran) Ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang kami anugerahkan kepada mereka". (Q.S. Al-Baqarah: 2-3)

Ibnu Taimiyah berkata: "Manakala seorang menyangka bahwa Al-Qur’an bertentangan dengan akal, maka ada dua kemungkinan penyebabnya. Pertama, kesalahan penggunaan dalil, seperti karena dalil itu tidak bisa dipastikan bersumber dari seorang yang terpelihara dari kesalahan (seorang nabi), atau makna dalil tersebut tidak seperti sangkaannya. Kedua, kesalahan metode pemikiran yang dijadikan pijakannya, disebabkan kesalahan sebagian atau keseluruhan mukadimahnya karena kemungkinan pada analogi-analogi yang digunakan terdapat kata-kata yang global dan samar.

Berikut ini beberapa contoh untuk menjelaskan perkataan Ibnu Taimiyah di atas.

Contoh pertama, dalil naqli yang shahih dan jelas bertentangan dengan akal yang tidak benar.

Orang yang menggunakan akal, seperti pada masalah peningkaran sifat-sifat Allah I, beranggapan bahwa mengakui sifat-sifat Allah sama dengan mengakui banyaknya Allah. Ini adalah argument yang tidak tepat, bahkan tidak bisa diterima oleh akal sekalipun, karena secara logis tidak mungkin ada zat yang tidak mempunyai sifat. Tidak bisa dibayangkan dan sangat tidak dimungkinkan oleh rasio.

Di samping hal itu berkonsekuensi mengangkat dua hal yang bertentangan, seperti ada orang yang berkata: "Dia ada tetapi tidak ada." Karena keberadaan (وجود) adalah sifat utama pada sesuatu yang ada. Maka dari itu, orang-orang yang mengingkari sebagian sifat seharusnya mengingkari semua sifat, termasuk sifat keberadaan itu sendiri. Artinya, orang yang mengingkari sifat baranggapan pada hakikatnya tidak ada Tuhan.

Maha Suci Allah dari apa yang dikatakan oleh orang-orang zalim itu.

Contoh kedua, Akal yang benar dan jelas bertentangan dengan dalil naqli yang tidak shahih.

Seperti hadits palsu bertentangan dengan akal yang benar, yang menyatakan bahwa Allah I ada, Pencipta segala sesuatu dan tidak ada sesuatu sebelum-Nya. Semua ayat kauniyah dan syar’iyyah, akal dan fitrah tidak ada yang membantah kenyataan ini.

Kecerobohan dalam melihat dalil naqli setelah yakin akan kebenaran akal, membuat seseorang mengira ada dalil naqli yang shahih (yang bertentangan dengan akal), padahal tidak demikian adanya. Lalu tampak di hadapannya sebuah pertentangan, yaitu pertentangan antara dalil yang benar dengan dalil yang salah, padahal dalil yang salah tidak pantas untuk dijadikan dalil, apalagi untuk menentang dalil yang benar. Jadi, seharusnya mendahulukan dalil yang benar, baik dalil itu berasal dari wahyu maupun dari akal.

Contoh dalil naqli yang palsu dalam masalah ini adalah, hadits (palsu) yang diriwayatkan dari Abu Hurairah t, bahwasannya ada yang bertanya: "Wahai Rasulullah! Dari apa Tuhan kita? Beliau menjawab: "Dari air yang mengalir, bukan dari bumi dan bukan dari langit. Dia menciptakan kuda, lalu kuda itu lari dan berkeringat, lalu Dia menciptakan dirinya dari keringat itu…"[2]

Contoh ketiga, dalil naqli yang shahih tapi tidak jelas maknanya, sehingga orang yang mengambil dalil salah dalam menggunakannya.

Pertentangan timbul akibat pemahaman yang tidak sempurna, dan ketidakmampuan untuk mengetahui makna dalil naqli yang benar, merupakan satu sebab timbulnya anggapan akan adanya pertentangan antara wahyu dengan akal.

Seperti hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah t, bahwasannya Rasulullah r bersabda:

"إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَقُولُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَا ابْنَ آدَمَ مَرِضْتُ فَلَمْ تَعُدْنِي قَالَ يَا رَبِّ كَيْفَ أَعُودُكَ وَأَنْتَ رَبُّ الْعَالَمِينَ قَالَ أَمَا عَلِمْتَ أَنَّ عَبْدِي فُلَانًا مَرِضَ فَلَمْ تَعُدْهُ أَمَا عَلِمْتَ أَنَّكَ لَوْ عُدْتَهُ لَوَجَدْتَنِي عِنْدَهُ يَا ابْنَ آدَمَ اسْتَطْعَمْتُكَ فَلَمْ تُطْعِمْنِي قَالَ يَا رَبِّ وَكَيْفَ أُطْعِمُكَ وَأَنْتَ رَبُّ الْعَالَمِينَ قَالَ أَمَا عَلِمْتَ أَنَّهُ اسْتَطْعَمَكَ عَبْدِي فُلَانٌ فَلَمْ تُطْعِمْهُ أَمَا عَلِمْتَ أَنَّكَ لَوْ أَطْعَمْتَهُ لَوَجَدْتَ ذَلِكَ عِنْدِي يَا ابْنَ آدَمَ اسْتَسْقَيْتُكَ فَلَمْ تَسْقِنِي قَالَ يَا رَبِّ كَيْفَ أَسْقِيكَ وَأَنْتَ رَبُّ الْعَالَمِينَ قَالَ اسْتَسْقَاكَ عَبْدِي فُلَانٌ فَلَمْ تَسْقِهِ أَمَا إِنَّكَ لَوْ سَقَيْتَهُ وَجَدْتَ ذَلِكَ عِنْدِي"

"Sesungguhnya Allah I pada hari kiamat berkata: "Wahai manusia! Aku sakit, tapi kamu tidak menjenguk-Ku," Manusia menjawab: "Wahai Tuhanku! Bagaimana aku menjengukmu padahal Engkau adalah Tuhan semesta alam."

"Apakah kamu tidak tahu, si fulan sakit dan kamu tidak menjenguknya, apakah kamu tidak tahu, bila kamu menjenguknya, kamu akan dapatkan aku di sisinya?.

Wahai manusia! Aku meminta makan kepadamu, tapi kamu tidak memberi-Ku makan."

"Ya Tuhanku! Bagaimana aku memberi-Mu makan, padahal Engkau adalah Tuhan semesta alam?"

"Apakah kamu tidak tahu hamba-Ku, si fulan, tidak kamu beri makan. Tidakkah kamu tahu, bila kamu memberinya makan pasti kamu mendapatkannya di sisiku."

"Wahai manusia! Aku meminta minum kepadamu, tapi kamu tidak memberi-Ku minum."

"Wahai Tuhanku! Bagaimana aku memberimu minum, padahal Engkau adalah Tuhan semesta alam?"

"Hamba-Ku, si fulan, meminta minum kepadamu tapi kamu tidak memberinya. Sungguh bila kamu memberinya minum, niscaya kamu mendapatkannya di sisi-Ku."[3]

Orang yang mengatakan bahwa hadits ini bertentangan dengan akal, karena menunjukkan adanya sifat baru pada Allah I, atau Dia memiliki sifat dan kondisi yang sama dengan makhluk, seperti sakit, lapar, haus dan sejenisnya, dan beranggapan bahwa itulah makna hadits yang lebih tepat, berarti sebenarnya ia tidak paham makna hadits tersebut dan tidak memikirkan serta memperhatikan sebagaimana mestinya. Padahal makna hadits tersebut dijelaskan langsung oleh Allah I untuk menghilangkan ketidakjelasan. Dia menjelaskan bahwa hamba-Nya yang sebenarnya lapar, makan, sakit, dijenguk oleh para penjenguk dan Allah I tidak pernah sakit, dijenguk, diberi makan, haus dan diberi minum.[4]

Alhasil, bahwa bila tampak pertentangan antara dalil naqli dengan akal (akal), maka tidak akan keluar dari 3 kemungkinan:

Pertama, salah satu dari kedua dalil itu pasti kebenarannya, sementara yang lain belum pasti kebenarannya. Dalam kondisi ini wajib mendahulukan dalil yang pasti kebenarannya, baik itu dalil naqli maupun akal.

Kedua, salah satu dari kedua dalil itu shahih, sementara yang lain tidak shahih. Maka wajib mendahulukan dalill yang shahih, baik itu dalil naqli maupun akal.

Ketiga, salah satu dari kedua dalil itu jelas maksudnya, sementara yang lain tidak. Maka wajib mendahulukan dalil yang jelas maksudnya. Akan tetapi, mungkin saja maksud sebuah hadits samar bagi sebagian orang, tapi jelas bagi orang lain, sehingga tidak dianggap sebagai sebuah pertentangan.

Adapun pertentangan dua dalil yang pasti kebenarannya, baik dalam mata rantai penukilannya (sanad) maupun isinya (matan), itu tidak pernah terjadi, baik di antara dua dalil naqli, dua dalil akal, maupun antara dalil akal dan dalil naqli.

Mungkin masih tersisa pertanyaan: Apa itu akal? Dan bagaimana kedudukannya dalam Islam?

Definisi Akal

Secara etimologis akal (العقل) merupakan bentuk masdar dari عقل- يعقل- عقلا yang memiliki makna menahan.[5]

Sedangkan secara terminologis dipergunakan untuk merujuk empat makna: 1); 2) ilmu dharuri; 3) ilmu nazharii; dan 4) berbuat sesuai dengan ilmu.[6]

Makna pertama: Kemampuan untuk mengetahui, yang merupakan alat untuk berpikir dan mengetahui, merupakan syarat taklif (menanggung beban syari’at), dan dengannya manusia lebih istimewa dari seluruh makhluk hidup.

Makna kedua: Ilmu dharuri, yaitu pengetahuan yang dimiliki oleh semua manusia, seperti pengetahuan tentang segala yang mungkin, yang mesti dan yang tidak mungkin, juga seperti mengetahui bahwa sebagian lebih kecil dari keseluruhan.

Makna ketiga: Ilmu nazhari, yaitu ilmu yang dicapai melalui pengamatan dan metode induktif, di mana manusia berbeda-beda di dalamnya. Hal ini bisa dibuktikan dalam kenyataan.

Makna keempat: Berbuat sesuai dengan ilmu. Karena semua perbuatan seharusnya didasari oleh ilmu.[7]Dalam hal ini al-‘Ashmu’i berkata: "Akal artinya menahan diri dari kejelekan dan membatasi dan menahan diri dalam kebaikan."[8]

Ketika ada orang yang berkata bahwa orang Kristen itu berakal, maka dikatakan kepadanya: "Diamlah!, sesungguhnya orang yang berakal adalah yang mengenal Allah dan taat kepada-Nya."[9]

Para penghuni Neraka berkata:

وَقَالُوا لَوْ كُنَّا نَسْمَعُ أَوْ نَعْقِلُ مَا كُنَّا فِي أَصْحَابِ السَّعِيرِ

"Dan mereka berkata: "Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala". (Q.S. Al-Mulk: 10)

‘Ali bin Abi Thalib berkata: "Seandainya agama ini ditentukan oleh akal, maka bagian bawah khuff (kaos kaki dari kulit yang menutup mata kaki) lebih pantas diusap daripada bagian atasnya. Tapi aku telah melihat Rasulullah r mengusap bagian atas khuff nya."[10]

Tempat Akal

Sesuai penelitian bahwa akal itu berhubungan dengan otak dan hati secara bersamaan. Otak adalah tempat timbulnya pikiran dan pandangan,[11] sementara hati adalah tempat timbulnya keinginan dan maksud. Sehingga bisa dikatakan bahwa hati adalah tempat hidayah, sedangakan otak tempat berpikir.

Kedudukan Akal dalam Islam

Islam telah memberikan penghormatan setinggi-tingginya kepada akal: dengan menjadikannya dasar taklif dan sebagai keutamaan yang diberikan oleh Allah I di atas makhluk-makhluk lainnya; mengarahkannya untuk mengamati dan memikirkan dirinya dan alam semesta, sebagai sarana pembelajaran dan pengakuan terhadap nikmat-nikmat serta pengambilan manfaat; dan mencegahnya dari memasuki sesuatu di luar jangkauannya dan tidak diketahuinya, sebagai bukti kasih sayang Allah dan demi menjaga kekuatan dan kemampuannya.

Untuk lebih jelasnya perhatikanlah poin-poin berikut:

Pertama, Allah I mengistimewakan orang-orang yang berakal, yang memiliki pengetahuan sempurna tentang maksud dan tujuan ibadah serta hikmah-hikmah di balik syari’at. Dalam firman-Nya setelah menyebutkan hukum-hukum haji:

وَاتَّقُونِ يَا أُوْلِي الأَلْبَابِ

"Dan bertakwalah kepada-Ku Hai orang-orang yang berakal". (Q.S. Al-Baqarah: 197).

Kemudian setelah menyebutkan hukum qishash:

وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَاْ أُولِيْ الأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

"Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, Hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa". (Q.S. Al-Baqarah: 179)

Kedua, Allah I mengkhususkan orang-orang yang berakal, yang mampu mengambil manfaat dari zikir dan nasihat:

وَمَا يَذَّكَّرُ إِلاَّ أُوْلُواْ الأَلْبَابِ

"Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)". (Q.S. Al-Baqarah: 269)

لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِّأُوْلِي الأَلْبَابِ 3

" Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal". (Q.S. Yuusuf: 111)

وَلَقَد تَّرَكْنَا مِنْهَا آيَةً بَيِّنَةً لِّقَوْمٍ يَعْقِلُونَ

"Dan Sesungguhnya kami tinggalkan daripadanya satu tanda yang nyata bagi orang-orang yang berakal". (Q.S. Al-‘Ankabuut: 35)

Ketiga, Allah I menyatakan bahwa orang-orang yang berakal adalah, yang mampu menggabungkan antara pengamatan dan perenungan terhadap kekuasaan Allah I dengan konsistensi dalam berzikir, merasa diawasi dan beribadah kepada-Nya:

إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَاخْتِلاَفِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لآيَاتٍ لِّأُوْلِي الألْبَابِ. الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللّهَ قِيَاماً وَقُعُوداً وَعَلَىَ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذا بَاطِلاً سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا إِنَّكَ مَن تُدْخِلِ النَّارَ فَقَدْ أَخْزَيْتَهُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنصَارٍ. رَّبَّنَا إِنَّنَا سَمِعْنَا مُنَادِياً يُنَادِي لِلإِيمَانِ أَنْ آمِنُواْ بِرَبِّكُمْ فَآمَنَّا رَبَّنَا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَكَفِّرْ عَنَّا سَيِّئَاتِنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ الأبْرَارِ. رَبَّنَا وَآتِنَا مَا وَعَدتَّنَا عَلَى رُسُلِكَ وَلاَ تُخْزِنَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّكَ لاَ تُخْلِفُ الْمِيعَادَ

"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan Ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa neraka. Ya Tuhan kami, Sesungguhnya barangsiapa yang Engkau masukkan ke dalam neraka, Maka sungguh Telah Engkau hinakan ia, dan tidak ada bagi orang-orang yang zalim seorang penolongpun. Ya Tuhan kami, Sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman, (yaitu): "Berimanlah kamu kepada Tuhanmu", Maka kamipun beriman. Ya Tuhan kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang banyak berbakti.

Ya Tuhan kami, berilah kami apa yang telah Engkau janjikan kepada kami dengan perantaraan rasul-rasul Engkau. dan janganlah Engkau hinakan kami di hari kiamat. Sesungguhnya Engkau tidak menyalahi janji." (Q.S. Ali ‘imran: 190-194)

Keempat, Allah I mencela orang-orang yang bertaklid kepada nenek moyang mereka, karena mematikan akal dan meridhai apa yang dilakukannya:

وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنزَلَ اللّهُ قَالُواْ بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءنَا أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لاَ يَعْقِلُونَ شَيْئاً وَلاَ يَهْتَدُونَ . وَمَثَلُ الَّذِينَ كَفَرُواْ كَمَثَلِ الَّذِي يَنْعِقُ بِمَا لاَ يَسْمَعُ إِلاَّ دُعَاء وَنِدَاء صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لاَ يَعْقِلُونَ

"Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami Hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?". Dan perumpamaan (orang-orang yang menyeru) orang-orang kafir adalah seperti penggembala yang memanggil binatang yang tidak mendengar selain panggilan dan seruan saja. mereka tuli, bisu dan buta. Maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti". (Q.S. Al-Baqarah: 170-171)

Kelima, Islam mengharamkan penganiayaan terhadap akal melalui perbuatan yang menyebabkan rusaknya fungsi akal, maka diharamkanlah minuman yang memabukkan dan segala yang mematikan atau merusak fungsi akal:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنصَابُ وَالأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

"Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan". (Q.S. Al-Maa-idah: 90)

Ummu Salamah berkata: "Rasulullah r melarang semua minuman yang memabukkan dan merusak akal"[12]

Keenam, Islam melarang keras semua perbuatan yang bertentangan dengan akal sehat, karena bertentangan dengan Tauhid. Sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah t, bahwa Rasulullah r bersabd:

"لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ وَلَا هَامَةَ وَلَا صُفْرَةَ …"

"Tidak ada penularan penyakit, tidak ada kesialan karena suatu benda, tidak ada (keburukan) karena burung hantu dan tidak ada keburukan karena bulan Safar…"[13]

Dalam riwayat lain dari Jabir t:

"لَا عَدْوَى وَلَا غُولَ وَلَا صَفَرَ"

"Tidak ada penularan penyakit, tidak ada ketakutan karena jin dan tidak ada keburukan karena bulan Safar."[14]

Kesimpulan

Dalam pandangan Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah, akal mempunyai kedudukan yang layak. Sikap ini merupakan sikap moderat di antara dua sikap ekstrim: Pertama, orang-orang yang menjadikan akal sebagai dalil utama, tidak berhubungan dan tidak membutuhkan syari’at. Kedua, orang-orang yang tidak menggunakan akal sama sekali dan mencampakkan semua dalil yang berasal dari akal.

Sementara pendapat Ahlus-Sunnah adalah sebagai berikut:

1. Akal adalah syarat untuk menguasai ilmu dan menyempurnakan amal, dan berfungsinya akal merupakan syarat untuk taklif. Karena semua amal yang dilakukan tanpa akal adalah tidak sempurna, dan perkataan-perkataan yang bertentangan dengan akal adalah salah. Kemudian dari pada itu bahwa merenungkan Al-Qur’an juga tidak mungkin tanpa menggunakan akal. Allah I berfirman:

أَفَلاَ يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِندِ غَيْرِ اللّهِ لَوَجَدُواْ فِيهِ اخْتِلاَفاً كَثِيراً

"Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya". (Q.S. An-Nisa’: 82)

Akal adalah alat untuk mengetahui hujjah Allah I atas makhluk-Nya.[15]

2. Akal tidak bisa berdiri sendiri dan pasti membutuhkan syari’at.

3. Akal membenarkan semua yang ada dalam syari’at.

4. Syari’at memberi tempat untuk dalil akal, menjelaskannya dan mengingatkan fungsinya.[16]


[1] . Makalah ini merupakan terjemahan bebas dari kitab al-Mukhtashar al-Hatsîts, karya Syaikh ‘Îsâ Mâlullâh Faraj, (Kuwait: Gheras, 1428 H), hal. 66-75

[2] . Ini adalah hadits palsu, lihat Tanziihusy-Syarii’ah al-Marfuu’ah ‘anil-Akhbaarisy-Syanii’ah al-Maudhuu’ah, al-Kinani: I/134 dan al-Laali al-Mashnuu’ah fiil-Ahaadiits al-Maudhuu’ah, as-Suyuthi:, I/3.

[3] . H.R. Muslim, juz IV, hal. 1990.

[4] . Lihat Dar-u Ta’aarudhil-‘Aql wan-Naql: I/150.

[5] . Lihat Lisaanul-‘Arab: XI/458.

[6] . Lihat Ihyaa ‘Uluumid-Diin, al-Ghazali: I/85-86.

[7] . Ibnu Taimiyah merujuk makna ini di beberapa tempat dalam karangan-karangannya, karena sangat penting. Amal adalah buah dan faidah dari akal. Seorang dianggap tidak berakal bila tidak berbuat sesuai dengan akalnya. Akal yang sehat menuntun kepada iman kepada Allah I dan seluruh risalah-Nya. Orang yang menyelisihi apa yang dibawa oleh para rasul, berarti menyelisihi akalnya, walaupun ia mengaku akalnya hebat atau memiliki pemahaman yang sangat kuat. Sebagai contoh, orang-orang musyrik mengetahui tauhid rububiyyah, tapi mereka tidak menepati tuntutannya, yaitu tauhid uluhiyyah, padahal ada keterkaitan antara keduanya secara akal maupun fitrah. Begitu pula para ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) mengetahui kebenaran rasul dan nabi, tapi mereka tidak tunduk kepadanya, mereka seperti keledai yang membawa kitab.

[8] . Kitaab al-Mukhashshash, Abul Hasan ‘Ali bin Isma’il yang terkenal dengan julukan Ibnu Sayyidih, hal. 16. Lihat Manhajul Isltidlaal ‘an Masaa-ilil I’tiqaad, ‘Utsman bin ‘Ali Hasan Jilid I, III/158-159.

[9] . Adz-Dzarii’ah, al-Ashfahani, hal. 96.

[10] . H.R. Abu Dawud, no. 162 dan Ibnu Abi Syaibah serta dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahiih Sunan Abi Dawud, no. 147.

[11] . Lihat Majmuu’ Fataawaa: IX/304.

[12] . H.R. Ahmad, no. 25136 dan Abu Dawud dalam Sunan-nya, no. 3686. Hadits ini didhaifkan oleh al-Albani, lihat adh-Dha’iifah, no. 4732.

[13] . H.R. Bukhari: IV/1744.

[14] . H.R. Muslim: IV/1744-1745.

[15] . Lihat Dar’ut Ta’aarudh: I/147 dan Majmuu’ Fataawaa: III/338-339.

[16] . Lihat Dar’ut Ta’aarudh: II/28-29, ash-Shawaa’iqul Mursalah: II/460-496 dan Ma’aalim Ushuulil Fiqh, al-Jizani.

No comments yet

Tinggalkan komentar